Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A'raf 7:199)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"...dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
(QS. An Nuur, 24:22)
Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al
Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah
terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah
menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ
عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
... dan jika kamu maafkan dan
kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Berlandaskan hal
tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan,
pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an :
الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Yaitu
orang2 yang menginfakkan hartanya ketika lapang dan sempit dan menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan,
3:134)
Menurut Harun Yahya Para peneliti percaya bahwa
pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel
otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keping-keping darah,
yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan
peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung
meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah
pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena
serangan jantung.
Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap
memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup
sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka
telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama
untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka.
Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap
memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa
manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka
berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang
beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang
lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan
besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa
sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu
terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan
karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah
terbelenggu oleh amarah.
Menurut penelitian terakhir, para
ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah
lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan
bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang
menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang
belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun
juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan
penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung
akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah
berkurang pada orang-orang ini.
Memaafkan, adalah salah satu
perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan sebuah sikap mulia yang
seharusnya diamalkan setiap orang
Dalam bukunya, Forgive for Good
[Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf
sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku
tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan
baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan
mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr.
Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat
teramati pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:
Permasalahan
tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita
telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh.
Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu,
Anda tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan
semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Hal itu membakar
tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih – memperburuk keadaan.
Sebuah
tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing
Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan
September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang
atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan
merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel
tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat
bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan
memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah
untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan
segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari
hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan
diri mereka sendiri dan orang lain.
Semua penelitian yang ada
menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat
merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa
berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang
menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang
tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin.
Namun, tujuan sebenarnya dari memaafkan –sebagaimana segala sesuatu
lainnya – haruslah untuk mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa
sifat-sifat akhlak seperti ini, dan bahwa manfaatnya telah dibuktikan
secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak ayat Al Qur’an, adalah satu
saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.
Mulai saat
inilah tidak ada kata terlambat bagi kita untuk selalu introspeksi diri,
sejauh mana dada dan hati kita memaafkan kesalahan orang lain atau
meminta maaf atas segala kesalahan kita. Hindari sikap egoisme dalam
diri yang membuat setiap manusia lupa akan hakikat jati dirinya. Karena
manusia yang besar adalah manusia yang dapat mengendalikan hawa
nafsunya, tidak mudah marah, lapang dada dan hatinya serta selalu
mementingkan kemaslahatan ummah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar