Belajar Ikhlas dan Menerima (Tawakal) dalam Hidup
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Alkisah, ada seseorang yang sangat kaya kemudian suatu ketika dia diberi ujian oleh Allah berupa kemiskinan. Usaha yang dirintisnya bangkrut, uang simpanan di bank pun habis, bahkan ia memiliki hutang puluhan juta.
Suatu ketika dia menghadapi kenyataan bahwa dia harus membayar hutang tersebut dalam jangka waktu satu bulan. Bingung, dia berusaha sekuat tenaga, mencoba membangun bisnisnya lagi dengan pinjaman-pinjaman yang lain. Seminggu kemudian dia tetap belum bisa membayar hutang tersebut. Dua Minggu, bahkan sampai tiga Minggu dia tidak dapat membayar hutang tersebut.
Stress di Minggu keempat, dia akhirnya mencoba mencari saran dengan mendatangi ayahnya yang berada di desa. “Wahai ayah, aku sudah berusaha semaksimal mungkin, mencoba mendirikan bisnis lagi tetapi kenapa ujian Allah ini tidak kunjung usai”, adunya ke ayah. Ayahnya pun terdiam, sejenak kemudian ia mulai menyentuh dada sang anak “anakku, ikhtiarmu sudah benar, kamu sudah menjalankan apa yang seharusnya kamu jalankan, tetapi ada satu hal yang kamu lupa” Balas ayahnya dengan nada pelan. “Nak, kamu lupa tentang kekuatan Allah, engkau belum menyerahkan semua masalah ini kepada Allah, kamu hanya berusaha sesuai nalar dan logika yang engkau miliki. Nak, sungguh pertolongan Allah itu nyata”. Akhirnya sang anak sadar bahwa ia lupa untuk bertawakal kepada Allah dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Akhirnya malam itu juga ia pamit dari ayahnya.
Esok harinya, seperti biasa ia mulai mencoba bisnisnya kembali, tak disangka ketika ia berpasrah diri kepada Allah sepertinya semua urusan menjadi mudah, banyak yang tiba-tiba ingin bekerja sama dengannya dan singkat cerita di akhir Minggu ke empat tersebut ia berhasil melunasi hutang-hutangnya”.
Dari kisah diatas dapat diambil hikmah bahwa bagaimanapun kita berusaha, maka hal yang terakhir yang kita lakukan adalah bertawakal kepadanya. Menurut falsafah jawa, ketika kita sudah berusaha dengan maksimal maka kita harus narimo, narimo ing pandum, yaitu belajar mengikhlaskan segalanya dan menerima semua pemberian-Nya.
Kalau kita bandingkan pada kehidupan mahasiswa ini, ya jangan galau atas nama nilai yang akan keluar dari hasi ujian yang telah kita laksanakan. Ketika kalian sudah berusaha dengan maksimal dan dengan cara yang benar, pastilah Allah akan memberi sesuatu yang terindah untuk kita. Nilai yang buruk bukan berarti kita bodoh atau sesuatu yang memalukan, tetapi nilai yang buruk merupakan sesuatu yang pantas kita syukuri karena dengan nilai tersebut kita tahu oh ternyata kita belum paham tentang materi itu, berarti semester depan harus belajar materi itu lagi. Bukankah kuliah itu merupakan sebuah kehidupan virtual dimana yang lulus akan menghasilkan orang-orang yang bisa dan bermanfaat ketika terjun ke masyarakat nyata
Wassalamu’alaykum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar