Jumat, 05 September 2014

“Bersegeralah kamu pada ampunan Tuhanmu dan kepada syurga yang luas seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (Q.S. Ali Imran (3):33)

Ada hari-hari istimewa karena pada hari-hari itu Allah melimpah-ruah, berkah dan karunia-Nya, dan Dia membawa kebahagiaan pada mereka yang bertobat kepada-Nya dengan mengganjar mereka surga dan keindahan wajah-Nya. Dia menurunkan rahmat-Nya kepada kita pada hari-hari, malam-malam, dan jam-jam istimewa tersebut.
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 36)
Yang dimaksud dengan empat bulan haram (mulia) pada ayat ini adalah: Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharam, dan Rajab. Para ulama’ menjelaskan bahwa ditetapkannya bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram sebagai tiga bulan haram adalah karena adanya momentum ibadah haji. Sedangkan ditetapkannya bulan Rajab sebagai satu bulan haram adalah karena momentum menyambut bulan suci Ramadhan.
Kenapa momentum menyambut bulan suci Ramadhan tidak pada bulan Sya’ban saja yang merupakan satu bulan sebelum Ramadhan?
Wallahu a’lam, dimungkinkan karena bulan Sya’ban dipergunakan untuk “menutup” celah-celah dan kekurangan-kekurangan terkait dengan melemahnya komitmen seseorang pada bulan-bulan setelah Syawal sampai bulan Rajab, dimana sekiranya momentum penyambutan itu ditempatkan pada bulan Sya’ban, maka tidak ada waktu atau kesempatan lagi untuk “melunasi” kelemahan komitmen pada-pada bulan-bulan sebelumnya. Dengan demikian, maka pengingatan akan datangnya bulan suci Ramadhan dilakukan pada bulan Rajab, sedangkan bulan Sya’ban dipergunakan untuk “melunasi” kelemahan komitmen pada bulan-bulan lainnya.[1]
Lantaran Islam memakai kalender kamariyah (bulan), permulaan harinya dihitung sejak matahari terbenam. maka contohnya malam Jumat adalah malam antara hari Kamis dan Jumat.[2]
Empat bulan tersebut disebut haram karena pada empat bulan ini 1.diharamkan berperang; 2. orang-orang yang beriman dilarang menzhalimi diri sendiri; 3. kaum muslimin tidak boleh kehilangan kewaspadaannya dalam empat bulan ini, sebab bisa saja ada pihak-pihak yang tidak mengindahkan larangan berperang ini, lalu mereka menyerang kaum muslimin. Jika hal ini terjadi, kaum muslimin dibenarkan melakukan peperangan untuk membela diri; 4. kaum muslimin hendaklah terus menjaga dan meningkatkan ketaqwaannya agar tetap mendapatkan ma’iyyatullah (kebersamaan Allah SWT).[3]
Orang-orang yang memahami makna dan nilai malam-malam tersebut niscaya menghabiskan mereka bukan dengan kemaksiatan, tetapi dengan beribadah dan ketaatan, beramal saleh dan bersedekah, salat dan berdoa. Pada malam-malam itu, mereka beroleh rida Allah SWT.
Hadis palsu bulan Rajab
Berikut merupakan jawaban Dr. Yusuf Al Qaradhawi tentang hadits keutamaan bulan Rajab, dan bagaimana hukumnya menyebar luaskan hadits palsu?.[4]
Berikut jawaban beliau. Tidak ada riwayat yang sahih tentang bulan Rajab, kecuali bahwa bulan Rajab merupakan bulan-bulan Haram (mulia), sebagaimana firman Allah swt dalam surat At Taubah:36 “Di antara dua belas bulan itu, ada empat bulan mulia”, yaitu bulan Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram.
Tidak ada hadits sahih yang meriwayatkan tentang keutamaan Rajab, kecuali hadits yang derajatnya “Hasan”, bahwa Rasulullah saw. tiada lebih banyak melakukan shaum kecuali pada bulan Sya’ban. Ketika Rasulullah saw. ditanya kenapa demikian?. Beliau menjawab:
“Sya’ban adalah bulan yang dilupakan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan.”
Dari keterangan hadits ini, dipahami bahwa bulan Rajab mempunyai keutamaan. Salah satu cara untuk mengenal tanda hadits ini bohong, palsu adalah: Sangat berlebihan dalam pahala atau ancaman. Ulama berpendapat, Bahwa janji mendapatkan pahala besar atas perintah yang remeh, atau ancaman dahsyat terhadap dosa kecil, adalah tanda bahwa hadits itu bohong atau makdzub.
Barangsiapa menyampaikan sebuah hadits padahal ia melihat hadits itu hadits bohong, maka ia bagian dari kelompok orang-orang yang pembohong.
Karena perilaku inilah yang menciderai pemikiran dan wawasan Islam, yaitu tersebarnya hadits-hadits palsu yang sering disampaikan dalam khutbah, di buku-buku dan dikalangan lisan banyak orang. Padahal hakikatnya hadits ini bohong dan merendahkan agama. Namun, kadang ada orang yang tidak mengetahui bahwa hadits-hadits itu hadits maudhu’, maka ia wajib belajar dan menggali lagi hadits itu. Hendaknya ia berusaha untuk mengetahui sumbernya

Semoga Allah swt. senantiasa memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua.


Saat menikahkan putri bungsunya, Sayyidah Fatimah Az Zahrah, dengan sahabat Ali bin Abi Thalib, Baginda Nabi Muhammad SAW tersenyum lebar. Itu merupakan peristiwa yang penuh kebahagiaan.
Hal serupa juga diperlihatkan Rasulullah SAW pada peristiwa Fathu Makkah, pembebasan Makkah, karena hari itu merupakan hari kemenangan besar bagi kaum muslimin.
“Hari itu adalah hari yang penuh dengan senyum panjang yang terukir dari bibir Rasulullah SAW serta bibir seluruh kaum muslimin” tulis Ibnu Hisyam dalam kita As Sirah Nabawiyyah.
Rasulullah SAW adalah pribadi yang lembut dan penuh senyum. Namun, beliau tidak memberi senyum kepada sembarang orang. Demikian istimewanya senyum Rasul sampai-sampai Abu Bakar dan Umar, dua sahabat utama beliau, sering terperangah dan memperhatikan arti senyum tersebut.
Misalnya mereka heran melihat Rasul tertawa saat berada di Muzdalifah di suatu akhir malam. “Sesungguhnya Tuan tidak biasa tertawa pada saat seperti ini,” kata Umar. “Apa yang menyebabkan Tuan tertawa?” Pada saat seperti itu, akhir malam, Nabi biasanya berdoa dengan khusyu’.
Menyadari senyuman beliau tidak sembarangan, bahkan mengandung makna tertentu, Umar berharap, “Semoga Allah menjadikan Tuan tertawa sepanjang umur”.
Atas pertanyaan diatas, Rasul menjawab, “Ketika iblis mengetahui bahwa Allah mengabulkan doaku dan mengampuni umatku, dia memungut pasir dan melemparkannya ke kepalanya, sambil berseru, ‘celaka aku, binasa aku!’ Melihat hal itu aku tertawa.” (HR Ibnu Majah)
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menulis, apabila Rasul dipanggil, beliau selalu menjawab, “Labbaik”. Ini menunjukkan betapa beliau sangat rendah hati. Begitu pula, Rasul belum pernah menolak seseorang dengan ucapan “tidak” bila diminta sesuatu. Bahkan ketika tak punya apa-apa, beliau tidak pernah menolak permintaan seseorang. “Aku tidak mempunyai apa-apa,” kata Rasul, “Tapi, belilah atas namaku. Dan bila yang bersangkutan datang menagih, aku akan membayarnya.”
Banyak hal yang bisa membuat Rasul tertawa tanpa diketahui sebab musababnya. Hal itu biasanya berhubungan dengan turunnya wahyu Allah. Misalnya, ketika beliau sedang duduk-duduk dan melihat seseorang sedang makan. Pada suapan terakhir orang itu mengucapkan. “Bismillahi fi awalihi wa akhirihi.” Saat itu beliau tertawa. Tentu saja orang itu terheran-heran.
Keheranan itu dijawab beliau dengan bersabda, “Tadi aku lihat setan ikut makan bersama dia. Tapi begitu dia membaca basmalah, setan itu memuntahkan makanan yang sudah ditelannya.” Rupanya orang itu tidak mengucapkan basmalah ketika mulai makan.
Suatu hari Umar tertegun melihat senyuman Nabi. Belum sempat dia bertanya, Nabi sudah mendahului bertanya, “Ya Umar, tahukah engkau mengapa aku tersenyum?”
“Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu,” jawab Umar.
“Sesungguhnya Allah memandang kepadamu dengan kasih sayang dan penuh rahmat pada malam hari Arafat, dan menjadikan kamu sebagai kunci Islam,” sabda beliau.
Kesaksian Anggota Tubuh
Rasul SAW bahkan sering membalas sindiran orang dengan senyuman. Misalnya ketika seorang Badui yang ikut mendengarkan taushiyah beliau tiba-tiba nyeletuk, “Ya Rasul, orang itu pasti orang Quraisy atau Anshar, karena mereka gemar bercocok tanam, sedang kami tidak.”
Saat itu Rasul tengah menceritakan dialog antara seorang penghuni surga dan Allah SWT yang mohon agar diizinkan bercocok tanam di surga. Allah SWT mengingatkan bahwa semua yang diinginkannya sudah tersedia di surga.
Karena sejak di dunia punya hobi bercocok tanam, iapun lalu mengambil beberapa biji-bijian, kemudian ia tanam. Tak lama kemudian biji itu tumbuh menjadi pohon hingga setinggi gunung, berbuah, lalu dipanenkan. Lalu Allah SWT berfirman. “Itu tidak akan membuatmu kenyang, ambillah yang lain.”
Ketika itulah si Badui menyeletuk, “Pasti itu orang Quraisy atau Anshar. Mereka gemar bercocok tanam, kami tidak.”
Mendengar itu Rasul tersenyum, sama sekali tidak marah. Padahal, beliau orang Quraisy juga.
Suatu saat justru Rasulullah yang bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian mengapa aku tertawa?.”
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” jawab para sahabat.
Maka Rasul pun menceritakan dialog antara seorang hamba dan Allah SWT. Orang itu berkata, “Aku tidak mengizinkan saksi terhadap diriku kecuali aku sendiri.”
Lalu Allah SWT menjawab, “Baiklah, cukup kamu sendiri yang menjadi saksi terhadap dirimu, dan malaikat mencatat sebagai saksi.”
Kemudian mulut orang itu dibungkam supaya diam, sementara kepada anggota tubuhnya diperintahkan untuk bicara. Anggota tubuh itupun menyampaikan kesaksian masing-masing. Lalu orang itu dipersilahkan mempertimbangkan kesaksian anggota-anggota tubuhnya.
Tapi orang itu malah membentak, “Pergi kamu, celakalah kamu!” Dulu aku selalu berusaha, berjuang, dan menjaga kamu baik-baik,” katanya.
Rasulpun tertawa melihat orang yang telah berbuat dosa itu mengira anggota tubuhnya akan membela dan menyelamatkannya. Dia mengira, anggota tubuh itu dapat menyelamatkannya dari api neraka. Tapi ternyata anggota tubuh itu menjadi saksi yang merugikan, karena memberikan kesaksian yang sebenarnya (HR Anas bin Malik).

Hal itu mengingatkan kita pada ayat 65 surah Yasin, yang maknanya, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Rabu, 03 September 2014


Belajar Ikhlas dan Menerima (Tawakal) dalam Hidup



Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Alkisah, ada seseorang yang sangat kaya kemudian suatu ketika dia diberi ujian oleh Allah berupa kemiskinan. Usaha yang dirintisnya bangkrut, uang simpanan di bank pun habis, bahkan ia memiliki hutang puluhan juta.
Suatu ketika dia menghadapi kenyataan bahwa dia harus membayar hutang tersebut dalam jangka waktu satu bulan. Bingung, dia berusaha sekuat tenaga, mencoba membangun bisnisnya lagi dengan pinjaman-pinjaman yang lain. Seminggu kemudian dia tetap belum bisa membayar hutang tersebut. Dua Minggu, bahkan sampai tiga Minggu dia tidak dapat membayar hutang tersebut.
Stress di Minggu keempat, dia akhirnya mencoba mencari saran dengan mendatangi ayahnya yang berada di desa. “Wahai ayah, aku sudah berusaha semaksimal mungkin, mencoba mendirikan bisnis lagi tetapi kenapa ujian Allah ini tidak kunjung usai”, adunya ke ayah. Ayahnya pun terdiam, sejenak kemudian ia mulai menyentuh dada sang anak “anakku, ikhtiarmu sudah benar, kamu sudah menjalankan apa yang seharusnya kamu jalankan, tetapi ada satu hal yang kamu lupa” Balas ayahnya dengan nada pelan. “Nak, kamu lupa tentang kekuatan Allah, engkau belum menyerahkan semua masalah ini kepada Allah, kamu hanya berusaha sesuai nalar dan logika yang engkau miliki. Nak, sungguh pertolongan Allah itu nyata”. Akhirnya sang anak sadar bahwa ia lupa untuk bertawakal kepada Allah dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Akhirnya malam itu juga ia pamit dari ayahnya.
Esok harinya, seperti biasa ia mulai mencoba bisnisnya kembali, tak disangka ketika ia berpasrah diri kepada Allah sepertinya semua urusan menjadi mudah, banyak yang tiba-tiba ingin bekerja sama dengannya dan singkat cerita di akhir Minggu ke empat tersebut ia berhasil melunasi hutang-hutangnya”.
Dari kisah diatas dapat diambil hikmah bahwa bagaimanapun kita berusaha, maka hal yang terakhir yang kita lakukan adalah bertawakal kepadanya. Menurut falsafah jawa, ketika kita sudah berusaha dengan maksimal maka kita harus narimo, narimo ing pandum, yaitu belajar mengikhlaskan segalanya dan menerima semua pemberian-Nya.
Kalau kita bandingkan pada kehidupan mahasiswa ini, ya jangan galau atas nama nilai yang akan keluar dari hasi ujian yang telah kita laksanakan. Ketika kalian sudah berusaha dengan maksimal dan dengan cara yang benar, pastilah Allah akan memberi sesuatu yang terindah untuk kita. Nilai yang buruk bukan berarti kita bodoh atau sesuatu yang memalukan, tetapi nilai yang buruk merupakan sesuatu yang pantas kita syukuri karena dengan nilai tersebut kita tahu oh ternyata kita belum paham tentang materi itu, berarti semester depan harus belajar materi itu lagi. Bukankah kuliah itu merupakan sebuah kehidupan virtual dimana yang lulus akan menghasilkan orang-orang yang bisa dan bermanfaat ketika terjun ke masyarakat nyata
Wassalamu’alaykum Wr. Wb.

fadilah dan keutamaan membaca surat al waqiah
Al-Quran, terletak pada juz ke 27 dan terdiri dari 96 ayat, termasuk golongan-golongan surat-surat makkiyah, diturunkan sesudah suraat Thaa Haa. Dinamai “Al-Waqiah”(hari kiamat), diambil dari perkataan “Al Waqiah yang terdapat pada ayat pertama surat ini Pokok-pokok isinya surat ini yaitu:
keimanan
Huru hara di waktu terjadinya hari kiamat; manusia diwaktu berhisab terbagi atas tiga golongan, yaitu golongan yang bersegera menjalankan kebaikan, golongan kanan dan golongan yang celaka serta balasan yang diperoleh oleh masing-masing golongan; bantahan Allah terhadap keingkaran orang yang mengingkari adanya Tuhan, hari berbangkit, dan adanya hisab; Al Quran berasal dari Lauhul Mahfuz
Dan lain-lain
gambaran tentang surga dan neraka
surat al waqiah adalah salah satu yang dikenal sebagai surat penuh berkah. Keberkahannya mampu melenyapkan kemiskinan dan mendatangkan rejeki bagi siapa saja yang membacanya dengan rutin. disini penulis akan memberikan beberapa fadilah surat kahfi yang telah diperoleh dari berbagai sumber. Antara lain sebagai berikut:
1. Ubay bin Ka’b berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Wâqi’ah, ia akan dicatat tidak tergolong pada orang-orang yang lalai.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).
2. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah, ia tidak akan tertimpa oleh kefakiran selamanya.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).
3. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah pada malam Jum’at, ia akan dicintai oleh Allah, dicintai oleh manusia, tidak melihat kesengsaraan, kefakiran, kebutuhan, dan penyakit dunia; surat ini adalah bagian dari sahabat Amirul Mukimin (sa) yang bagi beliau memiliki keistimewaan yang tidak tertandingi oleh yang lain.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).
4 Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang merindukan surga dan sifatnya, maka bacalah surat Al-Waqi’ah; dan barangsiapa yang ingin melihat sifat neraka, maka bacalah surat As-Sajadah.” (Tsawabul A’mal, hlm 117).
5. Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah sebelum tidur, ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan wajahnya seperti bulan purnama.” (Tsawabul A’mal, halaman 117).
6. Ibn Mardawaih daripada Anas: Kasyf al-Khafa, bahwa Rasulullah saw bersabda “Surah al-Waqiah adalah surah kekayaan. Hendaklah kamu membacanya dan ajarkanlah ia kepada anak-anak kamu.”
7. Riwayat daripada Ibn Mas‘ud: al-Azkar, al-Jami al-Soghir, bahwa Rasulullah saw bersabda “Sesiapa yang membaca surah al-Waqiah pada setiap malam ia tidak akan ditimpa kefakiran.”
8. “Ajarkanlah surah Al-Waqi’ah kepada isteri-isterimu. Kerana sesungguhnya ia adalah surah Kekayaan.” (Hadis riwayat Ibnu Ady)
9. Berkata Masruq: “Siapa ingin mengetahui cerita orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian, serta cerita ahli surga dan ahli neraka, penduduk dunia dan akhirat, maka bacalah surat Al-Waqi’ah”. (Tafsir Jamal, Juz IV halaman 269)
10.Dengan mewiridkan surat Al-Waqi’ah sebagai bacaan rutin setiap hari dan malam, maka Allah menjauhkan kefakiran selamanya. Sa’d Al Mufti mengatakan, bahwa hadist ini shahih.

Minggu, 31 Agustus 2014

Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A'raf 7:199)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)

Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)

Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an :

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"Yaitu orang2 yang menginfakkan hartanya ketika lapang dan sempit dan menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)


Menurut Harun Yahya Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.

Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh amarah.

Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang ini.

Memaafkan, adalah salah satu perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan sebuah sikap mulia yang seharusnya diamalkan setiap orang
Dalam bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:

Permasalahan tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih – memperburuk keadaan.

Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.

Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Namun, tujuan sebenarnya dari memaafkan –sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini, dan bahwa manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.

Mulai saat inilah tidak ada kata terlambat bagi kita untuk selalu introspeksi diri, sejauh mana dada dan hati kita memaafkan kesalahan orang lain atau meminta maaf atas segala kesalahan kita. Hindari sikap egoisme dalam diri yang membuat setiap manusia lupa akan hakikat jati dirinya. Karena manusia yang besar adalah manusia yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, tidak mudah marah, lapang dada dan hatinya serta selalu mementingkan kemaslahatan ummah.
Dari Yahya Ibnu Said bahwa Aisyah istri Nabi saw, berkata, “Aku melihat dalam mimpi, ada tiga bulan jatuh di kamarku, kemudian aku bercerita ke bapakku, Abu Bakar” Ketika Rasulullah saw wafat, jasad beliau disemayamkan di kamar Aisyah, maka Abu Bakar berkata, “Ia adalah salah satu dari tiga bulan itu, dan yang terbaik”

Dari Malik telah sampai kabar kepadanya bahwa Rasulullah saw meninggal pada hari senin dan dikebumikan pada hari selasa.

Satu persatu orang menyalati jenazah beliau tanpa seorang imam pun. Sebagian orang menyarankan agar disemayamkan di mimbar, yang lain mengusulkan ke Baqi’, lalu datanglah Abu Bakar, seraya berkata, “Tak seorang Nabi pun yang meninggal, kecuali dikebumikan di tempat ia meninggal”

Maka dibuatlah lahad. Ketika mereka hendak melepas pakaian beliau, tiba-tiba terdengar suara, ‘Jangan dilepas’ maka dimandikanlah jasad Nabi saw bersama pakaiannya”

Ibnu Abdul Barr mengatakan, “Aku tidak mengetahui periwayatan hadis yang seperti ini, kecuali kabar dari Malik itu, tetapi hadis ini shahih dipandang dari berbagai segi dan ditambah dengan hadis hadis lain yang dikumpulkan oleh Malik”

LETAK MAKAM NABI MUHAMMAD SAW


makam rasulullah
Makam yang berada di samping beliau adalah makam kedua sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan Umar r.a. dari Ibnu Sa’ad dari Urwah dan Qasim Ibnu Muhammad, keduanya berkata, “Abu Bakar memberikan wasiat kepada Aisyah agar dia dikebumikan di samping Rasulullah, maka ketika ajalnya tiba, dibikinlah sebuah lahad, dan posisi kepala beliau sejajar dengan pundak Rasulullah, lahadnya itu menempel dengan tempat disemayamkan Rasulullah saw”

Sedangkan, Umar bin Khaththab r.a ketika pulang ke rahmat ilahi dengan cara ia harapkan melalui doanya yaitu mati sahid. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Umar mendapatkan dua syahadah sekaligus, yaitu sahid di kota Madinah melalui tangan jahad seorang majusi, Abu Lu’lua, dan beliau dikebumikan tahun 24 H, di kamar Rasulullah saw, atas izin dari Aisyah r.a.

Amr bin Maimun Al-Udi berkata, “Aku melihat Umar bin Khaththab r.a berkata, ‘Wahai Abdullah bin Umar, pergilah kepada Ummul Mukminin, Aisyah, katakan bahwa Umar menyampaikan salam, kemudian mintalah izin kepadanya agar aku bila meninggal nanti, bisa dikuburkan bersama kedua temanku (Rasulullah dan Abu Bakar)”

Aisyah berkata, “Dahulu aku inginkan tempat itu untukku, hari ini aku berikan untuknya” Maka ketika Ibnu Umar menemui Umar, dia ditanya, “Bagaimana hasilnya?” dia menjawab, “Dia (Asiyah) telah memberikan izin untukmu wahai Amirul Mukminin.” Umar berkata, “Tempat itulah yang paling penting bagiku” (HR. Bukhari)

Akhirnya Umar r.a dikebumikan bersama kedua sahabatnya, dan sejak saat itu Aisyah membuat tabir antara dia dengan tempat persemayaman ‘ketiga bulan’ yang ada di dalam mimpinya.

Dia berkata, “Aku masih memakai kerudung dan aku lebihkan pakaianku, dan menjaganya sampai dibangun tembok yang membatasiku dari tempat disemayamkan”

ustazd al daniansyah


Hidup merupakan perjalanan yang sangat singkat, tapi entah mengapa manusia selalu merasakan sulitnya menjalani hidup yang dikatakan singkat. Manusia yang cenderung menjalani hidup dengan berat, biasanya ialah manusia yang tidak pernah mensyukuri apa yang Allah berikan padanya. 

Orang yang selalu tidak mensyukuri apa yang Allah berikan, adalah mereka yang selalu melihat orang yang ada di atas mereka. Orang  yang memiliki sepeda selalu iri dan berkeinginan memiliki motor seperti orang lain. Dan orang yang memiliki motor malah ingin memiliki mobil. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mensyukuri kesederhaan yang diberikan oleh Allah swt. Hal ini pulalah yang menyebabkan mereka tidak bahagia menjalani hidup dan selalu merasah resah dan gelisa.

kesederhanaankesederhanaan merupakan wujud atas keimanan, rasa syukur dan nikmat yang diberikan ALLAH SWT . sebab saat Anda hidup secara sederhana berarti Anda mengikuti pola seruan al-Quran dan as-sunnah Rasulullah saw mengatakan bahwa sebaik-baiknya pekerjaan itu adalah pertengahan. Pertengahan adalah kesederhanaan pertengahan berarti tidak di atas tidak pula di bawah, tidak tinggi, tidak pula rendah. Tidak kaya tidak pula miskin.
Salah satu bentuk paradoks yang kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan bahwa  menjalani hidup sederhana (mudah) justru yang paling sulit. Padahal kenyataanya, juga menunjukkan bahwa konsep yang sederhanalah yang justru bekerja efektif. Konsep ruwet, acak-acakan justru bernasib mandul dan menelan banyak biaya. Keserhanaan sejati adalah sebagai berikut:

1.  Anda merasa cukup dengan apa yang dapat Anda raih lalu Anda menikmatinya
2.  Sederhana juga tidak kaya dan juga tidak miskin
3.  Sederhana berarti Anda berpikir global bertindak lokal
4.  Sederhana berarti Anda bergerak efektif bertindak  tepat di saat yang tepat
5.  Sederhana berarti Anda memulai dengan tindakan yang bisa Anda lakukan
6.  Sederhana berarti Anda tidak terkecoh dengan upaya untuk membanding-bandingkan.

Secara alamiah orang-orang lebih senang dengan cara hidup yang tidak sombong, angkuh, pelit, serakah, rakus dan tamak. Bila Anda menjalani hidup yang sederhana berarti Anda telah menarik cinta banyak orang dalam hidup Anda. Dengan demikan terbukalah pintu-pintu rezeki dari kecintaan banyak orang kepada Anda.